BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bhineka Tunggal Ika. Ini salah satu ciri khas Bangsa Indonesia. Beraneka ragam Suku Bangsa,
Bahasa dan Agama yang mengakibatkan keanekaragaman Adat Istiadat dan Budaya.
Kemajemukan ini merupakan Anugerah besar dari Alloh SWT. di satu sisi, tapi
menimbulkan permasalahan besar dalam pengelolaannya.
Bagaimana tidak ? Diperlukan pengetahuan yang
luas mengenai keinginan dan kebutuhan tiap individu dan golongan. Diperlukan
kebijaksanaan yang tinggi untuk mengatur penyelenggaraan berbagai kepentingan.
Diperlukan keadilan yang luhur untuk membagi sumber daya alam kepada seluruh
penduduk yang memiliki hak yang sama.
Mengetahui rumitnya persoalan di atas, menjadi
menarik untuk mengkaji bagaimana seharusnya Tipikal dan Kinerja seorang Kepala
Negara yang sekaligus merangkap Kepala Pemerintahan, di bumi Alloh ini.
Mengingat Orde Baru adalah rejim yang paling lama berkuasa, alangkah bijak kita
mempelajarinya untuk menjadi pelajaran berharga bila kelak kesempatan memimpin
itu datang.
B. RUMUSAN MASALAH
Bangsa Indonesia adalah Bangsa besar yang
majemuk. Untuk mencapai Masyarakat yang sejahtera dalam arti terpenuhi semua
kebutuhan hidup dengan aman dan damai serta adil, sangat tergantung kepada
siapa yang memimpin dan apa tujuan dari kepemimpinannya tersebut.
Berdasarkan hal di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut :
- Bagaimana Tipikal seorang Soeharto yang dapat bertahan selama 32 tahun berkuasa di Indonesia ?
- Bagaimana arah kebijaksanaan Bapak Pembangunan beserta Jajarannya dalam memenuhi seluruh kepentingan Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke ?
- Apa saja Hasil yang telah didapat Bangsa ini selama masa pemerintahan Orde Baru tersebut ?
B. T U J U A N
Menyimak latar belakang dan mengetahui rumusan masalah di atas, ada
beberapa tujuan yang hendak dicapai. Sebagai sorang Pelajar dan sekaligus salah
satu Rakyat Indonesia yang merasa ikut memiliki kebesaran Indonesia, tujuan
yang dicanangkan adalah sebagai berikut :
- Pengetahuan Umum tentang bagaimana seharusnya kita hidup bernegara dan berbangsa,
- Menjadi pelajaran hidup tentang sebuah perjuangan panjang untuk membangun sebuah Bangsa menjadi besar,
- Memetik hikmah untuk mengikuti yang baik dan meninggalkan yang buruk, kelak ketika jabatan sudah ada di tangan.
BAB
11
LANDASAN
TEORI
Orde Baru adalah sebutan bagi
masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan
Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama
Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski
hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di
negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar.
A. Masa Jabatan Soeharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto
untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali
secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Presiden Soeharto memulai
"Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia
pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia
"bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali
pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru.
Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian
dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan
pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian
khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru.
KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan
perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli
ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR
tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari
kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini
mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70%
dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga
melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya
stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan
ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga
pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem
politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang
besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
c. Warga Tionghoa
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada
di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi
mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena
pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang
hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah
Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan
bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak
dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah
Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan
diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa
warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari
keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal,
kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang,
yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang
sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].
Orang Tionghoa dijauhkan dari
kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia
politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Di masa Orde Baru pemerintah sangat
mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan
"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat
penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif
yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi
terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang
banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program
transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen
anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi
terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara
itu gejolak di Papua yang dipicu oleh
rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
· Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.000
· Sukses swasembada pangan
· Pengangguran minimum
· Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
· Sukses Gerakan Wajib Belajar
· Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
· Sukses keamanan dalam negeri
· Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
· Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk
dalam negeri
· Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya
kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan
karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
· Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena
kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
· Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para
transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada
tahun-tahun pertamanya
· Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang
tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
· Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
- Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan yang dibreideli
- Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
- Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintahan presiden selanjutnya)
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi
Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam
50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang
semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para
demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri
Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan
diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti
ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk
menjadi presiden ketiga Indonesia.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk
kemudian digantikan "Era Reformasi".
Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa
Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih
belum berakhir. Oleh karena
itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca
Orde Baru".
G. Sistem Politik Orde Baru Tidak Bisa Memberantas
Korupsi
Reaksi terhadap
tulisan Sdr Anwar Hasyim “ Betulkah kekayaan Presiden Suharto mencapai 16
milyar dollar AS ?” (Apakabar 23 Juli 1997) dan tulisan Sdr Atmo Prakoso “Korupsi hanya bisa
dibrantas kalau Pak Harto turun jabatan dan sistem politik Orde Baru diganti”
(Apakabar 19 Juli 1997)
- Korupsi yang merajalela di Indonesia adalah produk
atau akibat sistem politik dan struktur kekuasaan
- Korupsi hanya bisa dibersihkan sesudah
gulungtikarnya Orde Baru lewat revolusi politik
Oleh : Mohtar Rivai
(yang pernah ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di kota Surabaya dan sekitarnya)
Oleh : Mohtar Rivai
(yang pernah ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di kota Surabaya dan sekitarnya)
Dalam tulisan-tulisan yang sudah
disiarkan lewat Apakabar, sudah sering dikemukakan bahwa kehadiran Pak Harto di
pucuk pimpinan negara merupakan sumber dari banyak penyakit parah dan penyebab
terjadinya berbagai “ketidakberesan” dalam kehidupan bangsa. Juga telah sering
diungkap, bahwa selama Pak Harto masih menjadi presiden, maka segala usaha
untuk mengadakan perbaikan atau perobahan yang mendasar dalam kehidupan politik
dan pemerintahan akan sia-sia belaka. Dan, bahwa perobahan lewat digulingkannya
Orde Baru secara politik adalah satu-satunya jalan untuk dapat dibrantasnya
korupsi dan kolusi.
Sepintas lalu, bagi sementara
orang, kalimat-kalimat itu bisa dianggap “berbau subversif” dan mengandung
unsur-unsur “destabilisasi kekuasaan yang sah”, “melawan undang-undang” atau,
se-tidak-tidaknya menghina nama baik kepala negara. Sebaliknya, realitas yang
terdapat di negara kita selama 30 tahun Orde Baru telah menyajikan banyak
bukti-bukti bahwa sistem politik, yang dipaksakan oleh Pak Harto dengan
berbagai cara, memang telah menjuruskan bangsa kita ke muara kerusakan moral
yang serius dan kemacetan kehidupan demokratis.
Tulisan Sdr Anwar Hasyim
menyebutkan, antara lain : “Terlepas dari soal sampai mana kebenarannya,
tersiarnya berita tentang kekayaan Presiden Soeharto sebesar 16 milyar US$
menunjukkan bahwa sistem politik Orde Baru sudah perlu dirobah, bahkan dibuang
sama sekali, untuk diganti dengan sistem yang lebih sesuai dengan arus zaman,
dan yang bisa menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beradab.
Reformasi politik sudah makin terasa urgen, yang bisa mencegah adanya seorang
kepala negara bisa memonopoli kekuasaan yang begitu besar, sehingga tidak bisa
lagi dikontrol oleh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang mewakili kepentingan
publik. Tetapi, berdasarkan pengalaman selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru,
kita telah menyaksikan bahwa reformasi di bidang politik adalah tidak mungkin.
Sistem politik yang dikendalikan oleh Presiden Suharto tidak menghendaki adanya
perobahan atau perombakan.”
Untuk melengkapi fikiran-fikiran
yang sudah diutarakan di atas, bisalah kiranya ditambahkan bahwa hanyalah ilusi
belaka, kalau ada orang yang beranggapan bahwa perbaikan-perbaikan mendasar
bisa diadakan selama sistem politik model Orde Baru masih ditrapkan secara
paksa di bumi Indonesia. Tentu saja, segala macam sarjana politik bisa saja
terus membuat makalah-makalah mengenai perlunya perbaikan, dan baik jugalah
bahwa pakar-pakar ekonomi mengajukan fikiran-fikiran tentang bagaimana
membrantas korupsi, dan berguna pulalah bahwa ahli-ahli hukum terus memprotes
penyelewengan-penyelewengan yang banyak terjadi. Ini semua perlu dilakukan
terus. Tetapi, adalah hanya khayalan besar saja, kalau ini semua dilakukan
dengan dasar fikiran bahwa perbaikan mendasar dan perobahan radikal bisa
terjadi selama Orde Baru masih tegak.
Perbaikan dan perobahan di
Indonesia tidak bisa dilakukan “DALAM sistem” atau “BERSAMA sistem” Orde Baru.
Perobahan fundamental hanya bisa terjadi dengan mengusahakannya lewat
perjuangan yang dikembangkan oleh kekuatan politik “DILUAR sistem”. Dan itu berarti
bahwa perjuangan kekuatan politik “diluar sistem” ini, pada akhirnya, akan
bentrokan dengan “sistem” politik Orde Baru. Bentrokan ini bisa terwujud dalam
berbagai bentuk dan cara, dan dalam berbagai bidang, dan tidak mesti atau
selalu harus melalui kekerasan fisik yang mengakibatkan korban darah,
harta-benda atau nyawa. Bentrokan antara yang menginginkan perobahan (yang
terdiri dari berbagai golongan dalam masyarakat) dan yang menentang perobahan
(Presiden Soeharto, Golkar, Abri dan sebagian dari birokrasi) adalah hal yang
terelakkan.
Bentrokan-bentrokan ini sudah
terjadi sejak berdirinya Orde Baru, secara sporadis di-sana-sini dan dalam
skala yang relatif masih kecil, dan karenanya mudah ditumpas. Selama dua tahun
terakhir ini, bentrokan-bentrokan ini makin mencuat, dan mengambil bentuk yang
lebih berarti, sampai memakan korban jiwa dan harta-benda. Demonstrasi
besar-besaran di Gambir tahun 1996, peristiwa penyerbuan gedung PDI Jalan
Diponegoro, peristiwa Ujungpandang, Situbondo, Tasikmalaya, Sampang, Bangil
Pasuruan, dan kerusuhan dalam kampanye pemilu 97 adalah bagian dari
gelombang-gelombang perbenturan-perbenturan dengan sistem politik Orde Baru.
Dipenjarakannya sejumlah pemuda-pemudi pimpinan PRD dan PUDI dan Pakpahan juga
bukti tentang terus berlangsungnya bentrokan politik. Demikian juga pemogokan
buruh di mana-mana, dan aksi-aksi massa untuk mendukung perjuangan politik dan
gerakan moral Megawati.
Mengusahakan perobahan yang
fundamental (revolusi politik), adalah hak rakyat Indonesia, dan bahkan merupakan
kewajibannya. Dalam kaitan ini, bisalah diartikan bahwa usaha berbagai gerakan
pro-perobahan atau pro-demokrasi di Indonesia untuk mengganti sistem politik
dan pemerintahan yang sekarang adalah perjuangan politik yang sah dan gerakan
moral yang mulia. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk
menyatakan perang jihad terhadap korupsi dan kolusi yang dijalankan oleh
pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai kalangan. Adalah hak dan kewajiban
warganegara Indonesia untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan secara
se-wenang-wenang. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk tidak
tunduk kepada peraturan-peraturan Orde Baru yang salah dan merugikan rakyat
banyak.
Tidak menyukai sistem politik Orde
Baru, bahkan menentangnya pula, adalah hak politik rakyat. Jelasnya, menentang
suatu politik Orde Baru bukanlah suatu kejahatan, dan bukan pula sesuatu yang
terlarang. Dalam situasi tertentu dalam sejarah rakyat Indonesia, bahkan
menentang suatu politik pemerintahan adalah tindakan yang benar dan merupakan
missi yang mulia. Dalam kaitan ini baik jugalah kiranya kita ingat perjuangan
para perintis kemerdekaan yang sudah “melanggar hukum yang berlaku” atau yang
menentang “peraturan-peraturan yang sah” dari pemerintah kolonial Belanda (dan
Jepang), sehingga mereka meringkuk di banyak penjara kolonial dan dibuang ke
Digul. Sejarah perjuangan Bung Karno dan Bung Hatta bisa memberikan contoh.
Sistem politik Orde Baru dibawah
komando Presiden Soeharto adalah sistem kekuasaan yang tidak mau menerima
kontrol dari rakyat dan memandang rendah martabat rakyat. Padahal,
prinsip-dasar demokrasi, atau jiwa demokrasi, adalah bahwa rakyatlah yang harus
menjalankan kedaulatannya. Kasarnya, rakyatlah yang memerintah. Prinsip inilah
yang telah dianggap sepi saja oleh struktur kekuasaan politik Orde Baru.
Struktur kekuasaan Orde Baru telah menjadikan perangai para penguasa menyerupai
pemilik-tunggal negeri ini, yang dengan kepongahan telah menjadikan rakyat
sebagai kuda tunggangan, sambil menjarah kekayaan negeri secara beramai-ramai.
Pengertian-dasar republik (res
publica), yalah bahwa segala sesuatunya adalah demi dan untuk umum.
Umum/rakyat/publik , yaitu pemilik negeri ini, “meminjamkan” kekuasaan kepada
pemerintah, termasuk kepada presiden republik, untuk mengatur negara dan
menjalankan pemerintahan. Mereka ini, para penguasa (termasuk presiden) adalah,
kasarnya, “pegawai” rakyat. Rakyatlah yang membayar gaji mereka. Mereka
dipinjami – oleh rakyat - kekuasaan untuk mengatur negeri, dan bukan untuk
menyalahgunakaan kekuasaan, termasuk melakukan korupsi dan kolusi guna
memperkaya diri. Karenanya, pemerintah, termasuk presiden, harus memberikan
pertanggungan-jawab kepada rakyat (antara lain, lewat dewan perwakilan rakyat).
Tetapi, sistem politik Orde Baru
sudah merusak dan menjungkir-balikkan ini semua. Presidennya sudah mengangkat
dirinya sebagai raja absolut, dengan mengangkangi kekuasaan yang luar biasa
besarnya. Selama 30 tahun menjabat kedudukan sebagai presiden, berbagai
tindakan atau tingkah-lakunya menunjukkan bahwa ia sudah “lupa” kepada
prinsip-dasar “res publica”, yaitu bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah
sebenarnya pinjaman dari rakyat, untuk ikut mengatur negeri, dan bukannya untuk
mengumpulkan kekayaan yang sampai 16 milyar US$. ! Perangai yang serupa juga diperlihatkan
oleh banyak pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai tingkat, yang sering
menunjukkan dengan kecongkakan - yang tidak sepantasnya - bahwa mereka
menganggap negeri ini adalah hanyalah milik mereka sendiri saja. Kita bisa
saksikan gejala-gejala semacam ini di Jakarta, di propinsi, di kabupaten dan di
kecamatan di seluruh Indonesia. Tingkah-laku pejabat-pejabat ini membuktikan
bahwa mereka “lupa” bahwa missi mereka adalah mengabdi kepada kepentingan
rakyat, dan bukannya untuk memperalat atau memusuhi rakyat. Skali lagi, mereka
adalah “pegawai” rakyat, dan bukan sebaliknya, menjadi “tuan” yang berdiri di
atas rakyat.
Sudah 30 tahun lamanya, kita
menyaksikan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ini dengan arogansi telah
meremehkan martabat rakyat, memandang rendah daya fikir rakyat, menganggap sepi
aspirasi rakyat. Dengan kesombongan “kekuatan senjata” sistem ini telah
“menggebug” berbagai golongan dalam masyarakat yang tidak menyokong politik
Orde Baru, dan yang ingin ikut juga “berbicara” mengenai urusan-urusan republik
sebagai pemilik-bersama negeri ini. Rakyat, yang merupakan sumber “mandat”
fihak eksekutif (presiden, kejaksaan agung, kepolisian, Abri dll) telah
dibungkam mulutnya, dan diborgol gerak-geriknya. Pemerintah telah memandang
rakyat sebagai fihak yang harus “dihadapi” sebagai lawan, dan bukannya kawan,
dengan jalan memaksakan 5 UU Politik : UU Pemilu (UU N° 1/1985), UU tentang
Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU N° 2/1985), UU tentang partai
politik dan Golkar (UU N°3/1985), UU tentang referendum (UU N°5/1985), dan UU
tentang ormas (UU N°8/1985).
Dengan lima UU Politik ini, sistem
kekuasaan Orde Baru telah membatasi kegiatan-kegiatan masyarakat dalam bidang
politik, menutup saluran-saluran aspirasi demokratik, mencegah
golongan-golongan dalam masyarakat untuk mempersoalkan problem-problem besar
negara dan rakyat. Lima UU Politik ini digunakan untuk membiarkan rakyat “bodoh
politik”, sehingga mudah dimanipulasi dan “ditundukkan”. Juga untuk mencegah
lahirnya kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang bisa mempersoalkan “missi”
Orde Baru. Akibatnya : organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda menjadi
lemah, buruh-buruh dibiarkan menderita pemerasan tanpa pembelaan, dewan-dewan
perwakilan rakyat menjadi kumpulan togog-togog yang tidak pantas dan tidak
berhak menamakan diri “wakil rakyat”, hakim dan jaksa tidak berani menjalankan
tugasnya secara jujur, penyimpangan tugas dan penyelewengan jabatan merajalela.
Korupsi pun berkembang tanpa kendali.
Keparahan dan kerumitan problem
yang diakibatkan oleh Lima UU Politik menjadi lebih serius lagi bagi kehidupan
bangsa dengan ditrapkannya, secara buruk, konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru
di bawah pimpinan Presiden Suharto. Karena pentrapan yang buruk inilah maka
citra ABRI sebagai tentara rakyat sudah tercemar. Orde Baru membuat dosa besar
dalam sejarah bangsa, karena telah merusak ABRI. Rakyat kita membutuhkan ABRI
yang bisa dibanggakan sebagai pembela bangsa dan negara, seperti yang pernah
kita punyai sebelum Orde Baru berkuasa. Waktu itu kita senang mendengar
perumpamaan bahwa hubungan ABRI dengan rakyat adalah ibarat ikan dengan air.
Tetapi, sekarang ini, perumpamaan itu sudah tinggal menjadi gombal belaka.
Pentrapan yang buruk konsep
Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru sudah membuat kerusakan-kerusakan besar di
berbagai bidang. Terutama sekali dalam bidang moral di kalangan ABRI. Dengan
konsep inilah sistem politik Presiden Suharto telah membikin ABRI terlibat,
terlalu jauh dan terlalu dalam, dalam urusan-urusan yang bukan bidangnya,
terutama di bidang politik. Dengan dalih stabilisator, dinamisator, penjaga UUD
45, pengaman Pancasila, tokoh-tokoh ABRI di berbagai tingkat, telah ditempatkan
di-mana-mana : dalam pemerintahan sipil, dalam berbagai macam lembaga politik ,
dalam sektor-sektor ekonomi, dalam diplomasi dan 1001 bidang lainnya. Pentrapan
yang salah konsep Dwifungsi telah melahirkan jaring-jaringan kekuasaan yang
ditugaskan untuk mempertahankan tegaknya Orde Baru. Artinya, ditugaskan untuk
mempertahankan statusquo dan berhadapan dengan arus perobahan dan perombakan.
Kita bisa mengharapkan bahwa angkatan muda dalam ABRI akhirnya, pada waktunya,
bisa mengkoreksi kesalahan-kesalahan besar ini, untuk mengembalikan
kedudukannya dalam tempat yang terhormat dalam hati rakyat.
Singkatnya, mengingat struktur kekuasaan
yang dibangun oleh Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto, kita tidak
bisa mengharapkan bahwa perbaikan atau perobahan bisa diusahakan oleh dan lewat
sistem politik yang ada sekarang ini, termasuk masalah pembrantasan korupsi.
Budaya korupsi sudah “built-in”, sudah inheren, sudah “dari sononya” pada
sistem politik Presiden Suharto. Tidak mungkin akan ada “gebrakan” yang berarti
yang bisa diharapkan dari sistem ini untuk memerangi korupsi dan kolusi.
Contohnya, apa sajakah kiranya yang bisa dilakukan oleh Orde Baru dalam
menghadapi persoalan berita tentang kekayaan Pak Harto sebesar 16 milyar US$ ?
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Orde Baru adalah sebutan bagi
masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan
Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama
Soekarno.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Disamping memiliki kekurangan,
orde baru juga memiliki beberapa kelebihan salah satunya sukses memerangi buta
huruf.
DAFTAR PUSTAKA
Wayan, I
Badrika.(2006).Sejarah:Untuk SMA Kelas XI.Jakarta.Erlangga.
BY :
Backlink Please !
URL |
Code For Forum |
HTML Code |
0 komentar:
Posting Komentar